Sepak Bola Indonesia ; Sepenggal Kisah Seorang Pewarta Foto
Sepak bola sebuah cabang olah raga paling populer di dunia. Sebuah permainan yang terlihat begitu simpel dimainkan oleh 11 orang vs 11 orang memperebutkan bola dalam sebuah lapangan hijau. Bahkan seorang jurnalis asal Amerika Serikat bernama Franklin Foer menulis sebuah buku tentang sepak bola berjudul "How Soccer Explains The World" Sebuah buku yang coba menjelaskan fenomena bagaimana sepak bola bukan lagi sekedar permainan di lapangan hijau tapi sudah dijadikan alat hegemoni negara Eropa terhadap negara dunia ketiga.
Perbincangan di blog ini saya coba batasi sesuai judulnya saja "Sepak Bola Indonesia ; Sepenggal Kisah Seorang Pewarta Foto" Bukan sebuah judul yang menarik dan memang saya tidak mencoba untuk bergenit genit ria hanya mencoba membuat segala sesuatunya tampak sederhana.
Kalo bicara jenjang peliputan dalam sepak bola, mungkin hanya Liga Champions dan Liga di negara Eropa saja yang belum ada kesempatan saya sambangi. Mulai dari liga anak-anak U11 bernama Liga Lifebuoy naik ke Medco, Suratin hingga Divisi Utama, ISL, Copa Djisamsoe, Piala Tiger, AFF, Piala Asia, Piala Eropa dan berlabuh di Piala Dunia Afrika Sekatan 2010 kemarin.
Di kompetisi anak-anak, seringkali orang tua turut campur tangan dan berteriak atau bahkan hingga mengumpat apabila tim anaknya kalah. Mulai dari wasit yang memang selalu bernasib buruk di negeri ini hingga hal lain yang bisa membenarkan logika pihak yang tidak senang karena harus kalah.
Di kompetisi usia remaja, saya pernah merasakan melihat bagaimana sportivitas tidak dihargai di lapangan UNI Bandung ketika di partai final Persib vs PSIS berjumpa. Setting-an penalti di menit terakhir pun jadi senjata yang 'biasa' dimainkan tuan rumah di manapun agar terhindar dari kekalahan.
Bibit-bibit perbuatan tidak sportif sudah dipertontonkan sejak dini oleh siapapun yang terlibat di lapangan hijau. Esensi sepak bola adalah sebuah permainan tidak lagi jadi kredo utama. KEMENANGAN entah kenapa dan apapun caranya harus dipenuhi.
Dan ketidakmampuan memililki tata letak berpikir yang semestinya membuat Kemenangan di sepak bola Indonesia dipuja dan dikultuskan. Siapa yang tidak mau menang ? Saya yakin, tak seorang pun atlet ataupun olahragawan mau bertanding untuk kalah. Tapi saya lebih setuju bahwa kemenangan adalah hasil dari sebuah proses melakukan segala sesuatu dengan konsisten.
Jadi, bicara tentang sepak bola Indonesia saya koq secara personal lebih senang membicarakan sepak bola Indonesia di zaman dahulu. Ketika sepak bola instingtif dan intuitif masih rasional dan cocok dengan zaman tersebut.
Sayang sekali, apabila modal sosial seperti fanatisme penonton yang mau datang membayar tiket menonton di stadion harus berujung dengan penyesalan karena menyaksikkan sepak bola negerinya tidak bisa dibanggakan. Bak sebuah pesta, masyarakat Indonesia selalu merayakan pesta sepak bola milik bangsa lain tanpa pernah gegap gempita merayakan kemenangan sepak bola milik bangsanya sendiri.
Setelah bertemu, berkenalan, berdiskusi dengan beragam kalangan, kesimpulan saya sepak bola Indonesia sangatlah instingtif dan intuitif. Rasionalisasi cara berpikir menjadi PR (baca: pekerjaan rumah) terbesar bagi seluruh insan sepak bola di negeri ini. Sejak berkarier sebagai seorang pewarta foto di Tabloid BOLA pada tahun 2003 (masih muda khan :-) ) tak banyak perubahan yang saya saksikan ketika meliput sepak bola dari sisi lapangan.
Jepang bisa dilihat sebagai role model bagaimana revolusi terjadi dalam pembangunan SDM dan infrastruktur sepak bola. Sepak bola sebagai sebuah industri gak lagi jadi sebuah jargon yang tampak manis diucapkan di bibir tapi begitu sulit dilaksanakan dalam tataran operasional dan praksis.Kalo bicara jenjang peliputan dalam sepak bola, mungkin hanya Liga Champions dan Liga di negara Eropa saja yang belum ada kesempatan saya sambangi. Mulai dari liga anak-anak U11 bernama Liga Lifebuoy naik ke Medco, Suratin hingga Divisi Utama, ISL, Copa Djisamsoe, Piala Tiger, AFF, Piala Asia, Piala Eropa dan berlabuh di Piala Dunia Afrika Sekatan 2010 kemarin.
Di kompetisi anak-anak, seringkali orang tua turut campur tangan dan berteriak atau bahkan hingga mengumpat apabila tim anaknya kalah. Mulai dari wasit yang memang selalu bernasib buruk di negeri ini hingga hal lain yang bisa membenarkan logika pihak yang tidak senang karena harus kalah.
Di kompetisi usia remaja, saya pernah merasakan melihat bagaimana sportivitas tidak dihargai di lapangan UNI Bandung ketika di partai final Persib vs PSIS berjumpa. Setting-an penalti di menit terakhir pun jadi senjata yang 'biasa' dimainkan tuan rumah di manapun agar terhindar dari kekalahan.
Bibit-bibit perbuatan tidak sportif sudah dipertontonkan sejak dini oleh siapapun yang terlibat di lapangan hijau. Esensi sepak bola adalah sebuah permainan tidak lagi jadi kredo utama. KEMENANGAN entah kenapa dan apapun caranya harus dipenuhi.
Dan ketidakmampuan memililki tata letak berpikir yang semestinya membuat Kemenangan di sepak bola Indonesia dipuja dan dikultuskan. Siapa yang tidak mau menang ? Saya yakin, tak seorang pun atlet ataupun olahragawan mau bertanding untuk kalah. Tapi saya lebih setuju bahwa kemenangan adalah hasil dari sebuah proses melakukan segala sesuatu dengan konsisten.
Jadi, bicara tentang sepak bola Indonesia saya koq secara personal lebih senang membicarakan sepak bola Indonesia di zaman dahulu. Ketika sepak bola instingtif dan intuitif masih rasional dan cocok dengan zaman tersebut.
Sayang sekali, apabila modal sosial seperti fanatisme penonton yang mau datang membayar tiket menonton di stadion harus berujung dengan penyesalan karena menyaksikkan sepak bola negerinya tidak bisa dibanggakan. Bak sebuah pesta, masyarakat Indonesia selalu merayakan pesta sepak bola milik bangsa lain tanpa pernah gegap gempita merayakan kemenangan sepak bola milik bangsanya sendiri.